Oleh Johanes Herlijanto, Ph.D
I have a dream that one day this nation will rise up and live out the true meaning of its creed: “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal.” (Martin Luther King Jr, 28 Agustus 1963)
20 Januari 2009 merupakan hari bersejarah bagi Amerika Serikat dan Dunia, termasuk bagi Indonesia. Pada tanggal tersebut Presiden Barack H Obama dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke 44. Bagi Indonesia, keberhasilan Obama memenangi pertarungan menuju gedung putih memiliki makna penting mengingat pria yang bernama kecil Barry itu pernah tinggal dan bahkan bersekolah di negeri kita. Namun bagi Amerika Serikat dan bahkan Dunia, pelantikan Obama memiliki makna luar biasa mengingat Obama merupakan seorang Amerika yang ayahnya berasal dari Kenya. Hal ini menunjukan bahwa seorang keturunan Afrika pun dapat terpilih menjadi presiden di sebuah negara yang mayoritas penduduknya merupakan keturunan Eropa.
Kesuksesan seorang berkulit hitam menduduki kursi kepresidenan Amerika serikat dapat pula dianggap sebagai realiasi dari sebuah mimpi yang telah dibayangkan oleh para pejuang Hak Asasi Manusia, khususnya yang berkulit hitam, di negeri tersebut. Mimpi tersebut sudah muncul sejak puluhan atau bahkan lebih dari seratus tahun lalu. Namun pencanangan mimpi tersebut diperdengarkan kembali secara lebih jelas pada tahun 1963, ketika Martin Luther King Jr, seorang pendeta berkulit hitam, membacakan pidatonya yang berjudul “I have a dream” di depan sekitar 250 ribu aktivis gerakan hak hak sipil (civil rights movements) di Washington DC. Pada tahun-tahun itu, orang-orang Amerika Serikat keturunan Afrika masih mengalami perlakuan diskriminatif. Kurang dari satu dekade sebelumnya, mereka bahkan hanya diperkenankan menumpang bus yang secara terpisah diperuntukan bagi mereka. Sebagai respon atas peraturan yang tidak adil itu, orang-orang keturunan Afrika di bawah pimpinan Martin Luther King Jr. mengadakan demonstrasi damai berupa pemboikotan bus selama 382 hari. Sebagai hasilnya, pada tahun 1956, Mahkamah Agung Amerika Serikat memaklumatkan bahwa peraturan yang memisahkan orang-orang kulit berwarna dari saudara-saudara mereka yang berkulit putih tidak sesuai dengan konstitusi.
Hasil itu tidak didapat dengan mudah, impian King dan saudara-saudara seperjuangannya atas persamaan hak harus dibayar mahal. Selama protes di atas berlangsung, Ia pernah dipenjara, bahkan rumahnya pun pernah dibom. Namun segala perlakuan buruk yang ia alami tak membuat impiannya surut. Dalam setiap kesempatan, ia bahkan selalu menyebarkan impian itu kepada saudara-saudara seperjuangannya. Memang, beberapa tahun setelah ia membacakan pidato berjudul “I have a Dream” di Washington D.C, King menghadap penciptanya setelah menjadi korban penembakan di Memphis, Tennessee[1]. Namun impian akan persamaan hak yang pernah ia lontarkan tetap mengembara dan menghantui hati dan pikiran para pejuang Hak Asasi Manusia. Impian itulah yang mendorong mereka untuk terus berjuang hingga persamaan hak yang memungkinkan Obama menjadi pemimpin tertinggi negara adi kuasa itu dapat teralisasi. Impian itu pulalah yang menggugah para aktivis tersebut untuk kembali mengajukan proses ketika mereka mesinyalir adanya ketidakadilan pada kasus pembunuhan Trayvon Martin, seorang remaja berkulit hitam, yang berujung pada dibebaskannya sang tersangka pembunuhnya, George Zimmerman. Inilah bukti akan kekuatan sebuah impian yang diteriakan oleh Martin Luther King Jr sekitar setengah abad yang lalu.
Kekuatan impian tidak hanya dapat kita jumpai dalam pengalaman Martin Luther King Jr bersama para pejuang Hak Asasi Manusia yang memiliki visi yang sama dengannya. Kekuatan yang sama dapat juga kita lihat dalam sejarah sebuah bangsa yang pada awal abad ke-21 ini muncul menjadi sebuah kekuatan besar dunia. Cina, demikian bangsa itu kita sebut, memiliki sebuah sejarah yang tak kalah hebat dari bangsa Eropa. Pada awal abad ke-15, armada China telah melanglang-buana ke berbagai wilayah dunia, termasuk nusantara. Dalam sebuah ekspedisi, armada kekaisaran Ming yang mengarungi samudra di bawah kepemimpinan laksamana Zheng He itu membawa kapal-kapal termodern di zamannya, dengan jumlah berkali lipat lebih banyak dibanding armada Christopher Colombus ketika ia melakukan eksplorasi yang membawanya ke Amerika.
Namun Cina akhir abad 19 berbeda jauh dari Cina pada masa akhir abad ke 19. Pada masa yang belakangan itu, Cina telah berubah menjadi sebuah mantan kekuatan besar yang sedang tercabik-cabik. Wilayahnya diperebutkan oleh berbagai bangsa Barat sehingga ia dijuluki sebagai sebuah semangka yang terpotong-potong. Dalam kondisi seperti itulah para pemuda dan intelektual Cina memimpikan sebuah kebangkitan bagi bangsanya. Sepanjang sejarah, Cina selalu memimpikan untuk menjadi sebuah bangsa yang sama dengan Barat. Tentu saja, proses untuk merealisasikan mimpi itu terlalu panjang untuk dilalui. Namun langkah pertama dimulai saat abad ke 19 berganti menjadi abad ke 20. Pada periode itulah para pendiri bangsa Cina modern mulai menyadarkan kepada seluruh orang Cina bahwa mereka adalah sebuah bangsa yang satu. Bersamaan dengan itu, mereka mendobrak kekuasaan kekaisaran Dinasti Qing, dan menjadikan Cina sebagai sebuah negara berbentuk republik.
Selama hampir satu abad kemudian, Cina mengalami berbagai pasang dan surut silih berganti. Pada tahun 1950 an hingga 1960an, segera setelah Partai Komunis berkuasa di negeri itu, industri di Cina berkembang dengan sangat cepat, sehingga memukau orang-orang yang tinggal di negara berkembang lainnya, termasuk Indonesia. Namun pada akhir 1960an hingga sepanjang tahun 1970an, Cina memasuki sebuah zaman kelam yang dikenal sebagai periode revolusi kebudayaan. Secercah harapan akan munculnya Cina yang modern baru kembali hadir setelah pemimpin Cina pasca Mao Zedong, mencanangkan reformasi dan keterbukaan ekonomi pada tahun 1978. Saat ini, lebih dari 3 dekade setelah reformasi ekonomi itu dilaksanakan, Cina berubah menjadi sebuah negara modern yang diprediksi akan dapat melampaui Amerika pada beberapa dekade yang akan datang. Namun uniknya, ketika kehidupan yang lebih baik ini dapat mereka raih, pemimpin Cina yang baru justru mengajak rakyatnya untuk bermimpi. ‘the China Dream’, sebuah harapan bagi peremajaan kembali Cina, dan bagi terwujudnya masyarakat kelas menengah Cina yang lebih bahagia, dilontarkan oleh pemimpin baru negeri itu segera setelah tahap pergantian kepemimpinan dilangsungkan.
Kedua contoh di atas memperlihatkan bagaimana kehadiran sebuah impian mampu menggerakan sekelompok orang untuk bekerja keras meraih apa yang mereka impikan. Ketekunan masyarakat pejuang hak-hak sipil di Amerika merupakan contoh yang jelas akan hal ini. Demikian juga dengan para pemimpin dan kaum intelektual di China. Bahkan Indonesia, negeri kita pun dapat dikatakan merupakan wujud dari impian yang dirajut pada awal abad ke 20 oleh kaum intelektual Indonesia. Semoga keberadaan contoh-contoh tersebut dapat memotivasi kita untuk membangun mimpi dan berupaya sekuat tenaga untuk meraih impian tersebut.
[1] Informasi untuk bagian ini diperoleh dari http://www.nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/1964/king-bio.html