Literasi merupakan kemampuan dasar yang harus distimulus kepada anak sejak dini yang berada di rentang usia 0 – 6 tahun. Menurut Hasanah & Deiniatur (2019: 12) literasi tidak sekadar kemampuan elementer membaca, menulis dan berhitung. Literasi dalam pengertian modern mencakup kemampuan berbahasa, berhitung, memaknai gambar, melek komputer dan berbagai upaya mendapatkan ilmu pengetahuan. Kemampuan ini yang kelak akan menjadi bekal pada anak untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, rendahnya minat literasi masyarakat menjadi salah satu permasalahan yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini bukan hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga terjadi pada anak sekolah hingga usia dini.
Berdasarkan hasil survei Central Connectucut State University atau CCSU (2016) dalam World’s Most Literate Nations Ranked tentang pemeringkatan perilaku literasi dan sumber yang mendukung literasi di 61 negara, Indonesia berada pada peringkat 60 jauh berada di bawah Malaysia dan Singapura. Hasil survei CSSU selaras dengan data UNESCO yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001% yang berarti hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang rajin membaca.
Hasil penelitian lain yang mendukung lemahnya tingkat literasi di Indonesia juga disampaikan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang pada survei di tahun 2019 menyatakan Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara dengan kemampuan literasi di dunia. Selama kurun waktu 2012 – 2015, skor PISA untuk membaca di Indonesia hanya naik 1 poin dari 396 menjadi 397, untuk sains naik dari 382 menjadi 403, dan skor matematika naik dari 375 menjadi 386. Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9 – 14 tahun berada di peringkat sepuluh terbawah.
Persoalan tingkat dan kemampuan literasi juga datang dari faktor ketimpangan kualitas pendidikan di setiap daerah. Data menunjukkan lebih dari 50 persen murid kelas awal di Papua masuk ke dalam kategori tidak bisa membaca karena tidak bisa mengenali huruf. Kompetensi membaca murid kelas empat sekolah dasar (SD) yang masih berada dalam level kurang literasi terdata sebanyak 60 persen. Early Grade Reading Assessment (EGRA) yang dilakukan oleh ACDP Indonesia dengan dukungan dana dari USAID mengukur secara sistematis seberapa baik siswa di kelas-kelas awal sekolah dasar memiliki keterampilan membaca dari berbagai daerah. Asesmen pertama dilakukan pada tahun 2012 kepada 4.233 siswa kelas 3 di 184 sekolah yang tersebar di 7 provinsi. Hasil asesmen menunjukkan bahwa siswa kelas 3 dapat membaca kata dalam Bahasa Indonesia, namun mereka belum tentu paham apa yang mereka baca. Hanya setengah dari para siswa itu yang mampu memahami tulisan dengan baik, yaitu mereka yang membaca dengan tingkat yang memuaskan (mampu menjawab sedikitnya 4 dari 5 pertanyaan dengan benar). Asesmen kedua dilakukan pada 2014 terhadap 4.812 siswa kelas 2, menunjukkan bahwa tidak sampai setengah dari jumlah tersebut mahir membaca dan paham apa yang mereka baca. Hanya 26% siswa dapat menjawab 3 dari 5 pertanyaan dengan benar dan 5,8% siswa tidak dapat membaca sama sekali. Secara khusus, dalam asesmen itu juga terungkap bahwa anak-anak di Jawa dan Bali dapat membaca dan paham atas apa yang mereka baca secara lebih baik dibandingkan anak-anak di daerah lain di Indonesia. Anak-anak dari daerah timur Indonesia membaca dengan tingkat pemahaman paling rendah. Fakta tersebut menunjukkan dengan jelas terdapat kesenjangan dalam hal kemampuan membaca yang nyata antara anak-anak di daerah terpencil dengan mereka yang tinggal di daerah pusat kota.
Rendahnya minat baca di Indonesia ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tidak adanya kebiasaan yang dibangun dalam aktivitas membaca sejak dini. Padahal usia anak-anak adalah masa golden age di mana pada fase ini anak sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat sehingga para orang tua dapat membentuk karakter anaknya.
Rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 3-4 kali per minggu, dengan durasi waktu membaca per hari rata-rata sebanyak 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku. Data ini berdasarkan hasil penelitian perpustakaan nasional tahun 2017. Data yang diambil dari Ikapi juga cukup mencengangkan. Rata-rata orang Indonesia hanya membeli 2 buku per tahun. Hal ini jelas menunjukkan betapa sedikitnya jumlah tersebut.
Salah satu dampak negatif dari rendahnya tingkat budaya literasi bangsa adalah dengan semakin maraknya penyebaran berita hoaks di kalangan masyarakat. Penyebaran berita hoaks semakin cepat dan mudah dilakukan karena rendahnya tingkat budaya literasi bangsa. Kriminalitas, penyalahgunaan obat dan alkohol, serta kemiskinan dan kesenjangan, juga merupakan dampak dari rendahnya tingkat literasi. Oleh sebab itu perlu adanya kesadaran masyarakat untuk meningkatkan minat serta kemampuan literasi sedari dini. Minat literasi perlu dikembangkan mulai dari anak usia dini agar budaya literasi ini kelak tertanam hingga anak tumbuh dewasa sehingga menjadi kebiasaan. Menurut Kimbey dalam Permatasari (2015) kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya unsur paksaan, ini bukanlah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia tetapi merupakan hasil proses belajar dan pengaruh pengalaman dan keadaan lingkungan sekitar.
Di era digital seperti saat ini yang semakin canggih dengan kemampuan teknologi yang berkembang pesat, banyak orang tua hingga generasi muda sekarang yang lebih tertarik menggunakan gadget untuk memperoleh informasi karena dinilai lebih cepat dan mudah, sehingga buku tidak lagi menjadi media utama untuk mendapatkan informasi yang diharapkan. Kondisi yang serba instan dan gampang inilah yang akhirnya membangun pola pikir generasi muda yang mengandalkan mesin pencari informasi sehingga minat literasi menjadi menurun. Hal ini juga terjadi pada anak usia dini yang sedari kecil sudah diperkenalkan gadget, sehingga anak-anak lebih tertarik untuk bermain gadget dan menonton video-video di internet daripada melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat seperti membaca buku, menulis, dan menggambar. Padahal semua kegiatan sederhana itu dapat membantu mengembangkan kemampuan literasi anak.
Budaya literasi anak, akan lebih mudah tertanam dengan peran orang tua. Menurut Soejono Soekamto peran adalah bagian yang dimainkan seseorang. Dengan kata lain peran berarti bagian dari tugas yang harus dilakukan. Sedangkan orang tua menurut M. Arifin adalah orang yang menjadi pendidik dan membina yang berada di lingkungan keluarga. Jadi, peran orang tua yaitu keikut sertaan dalam proses pendidikan anak. Dalam hal ini, peran yang dapat diambil orang tua dalam meningkatkan literasi adalah:
- Orang tua menjadi figur teladan kepada anak untuk menyukai bacaan. Jika orang tua memang kurang suka membaca buku, dapat diawali dengan membaca artikel ringan yang ada di media massa.
- Mengajak anak untuk mengunjungi perpustakaan daerah atau perpustakaan umum terdekat. Dengan mengunjungi perpustakaan anak menjadi dekat dengan sumber bacaan.
- Menjadikan buku sebagi reward ketika anak memperoleh prestasi. Sering mengajak anak ke toko buku dan membelikan buku yang anak inginkan dapat membentuk kepribadian anak untuk mencintai buku. Buku menjadi sesuatu yang penting dan wajib dimiliki daripada mainan dan pakaian.
- Tidak kalah pentingnya adalah kontrol orang tua selalu memberikan buku bergizi kepada anak. Tidak semua buku baik bagi perkembangan anak. Hanya buku-buku bermutulah yang mampu menumbuhkan karakter positif anak. Di sini orang tua sangat berperan untuk menyeleksi bacaan mana yang menyehatkan dan bacaan mana yang menyesatkan.
Upaya pemerintah dalam meningkatkan pendidikan termasuk minat baca memang sudah dilakukan antara lain dorongan pembudayaan gemar membaca melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 24 tahun 2014 tentang pelaksanaan UU nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan. Pada pasal 74 tentang Penghargaan Pembudayaan Kegemaran Membaca ayat 1, bahwa kegemaran membaca dilakukan melalui: gerakan nasional gemar membaca, penyediaan buku murah dan berkualitas, pengembangan dan pemanfaatan perpustakaan sebagai proses pembelajaran. Gerakan nasional gemar membaca yang diamanatkan PP nomor 24 tahun 2014 ini diperkuat lagi dengan Permendikbud nomor 23 tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dalam bagian IV tentang Mengembangkan Potensi Peserta Didik Secara Utuh, sekolah hendaknya memfasilitasi secara optimal agar siswa bisa menemukenali dan mengembangkan potensinya. Untuk mencapai tujuan ini sekolah wajib menggunakan 15 menit sebelum hari pembelajaran untuk membaca buku selain buku mata pelajaran (setiap hari). Selain itu, pemerintah juga menggalakkan program literasi di sekolah-sekolah maupun di masyarakat umum dengan membuka perpustakaan sekolah maupun perpustakaan umum.
Untuk anak usia dini, ada beberapa kegiatan sederhana yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat literasinya, hal ini dapat dilakukan dengan bantuan orang dewasa, baik itu orang tua maupun guru prasekolah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan media pembelajaran yang menarik yang dapat menarik atensi anak usia dini. Menurut Dewi (2017) media pembelajaran adalah media atau alat yang menjadi perantara dalam menyampaikan pembelajaran pada anak usia dini karena anak usia dini tidak bisa lepas dari media pembelajaran namun prinsipnya alat yang digunakan sebagai media pembelajaran tersebut harus mampu menstimulasi semua aspek perkembangan anak dan mampu mengatasi rasa bosan pada anak sehingga pembelajaran berjalan dengan efektif. Media pembelajaran yang paling sesuai digunakan untuk anak usia dini adalah buku. Sebuah survei yang dilakukan oleh salah satu divisi Kementerian Pendidikan Amerika Serikat menunjukkan bahwa balita yang terbiasa dibacakan buku oleh orang tua mereka bisa lebih cepat mengenal abjad. Survei lainnya memperlihatkan keberhasilan balita dalam tahapan literasi awal, seperti menulis namanya sendiri, membaca atau berinteraksi dengan buku, serta menghitung hingga bilangan 10. Pemilihan buku juga harus disesuaikan dengan usia anak. Orang tua dapat menggunakan media yang menarik seperti buku cerita bergambar. Menurut Zonna (2014) buku cerita bergambar adalah suatu media untuk menyampaikan berbagai pesan dalam bentuk buku yang dikemas dalam tulisan maupun gambar. Buku cerita bergambar adalah media yang paling disenangi oleh anak usia dini, karena terdapat banyak ilustrasi (gambar), warna dan cerita sederhana yang dikemas dalam tampilan yang menarik sehingga anak usia dini tertarik untuk membacanya. Selain itu orang tua juga dapat membacakan anak cerita sebelum tidur. Orang tua dapat menumbuhkan minat literasi anak melalui dongeng atau cerita sederhana yang diceritakan setiap malam kepada anak-anak usia dini sebelum mereka tidur. Hal ini dapat dilakukan agar anak terbiasa mendengarkan cerita sehingga ini menjadi suatu kebiasaan bagi anak. Membaca juga dapat membantu anak untuk mengembangkan kosakatanya, kemampuan mendengar dan memahami.
Minat literasi anak juga dapat dibangun dengan cara-cara sederhana dalam kegiatan sehari-hari seperti berbelanja, karena berbelanja adalah salah satu kegiatan yang sangat digemari oleh anak. Orang tua dapat meminta anak membuat catatan barang belanjaan yang akan dibeli di super market atau menghitung jumlah barang belanjaan. Walaupun sederhana, dengan melibatkan anak dalam hal ini membuat anak menjadi merasa lebih dihargai dan bersemangat, sehingga minat literasinya pun meningkat.