Saya Lina dan sudah bergabung dengan Yayasan Rumah Impian Indonesia sejak tahun 2010. Sebelum bergabung dengan yayasan ini dan bersekolah lagi, saya bekerja sebagai tukang angkut dagangan di Pasar Lempuyangan. Jam kerja yang panjang yaitu dari jam 4 pagi sampai 4 sore, dan dengan pekerjaan yang berat, namun akhirnya saya menyerah karena badan saya tidak kuat. Seorang teman menawarkan pekerjaan sebagai pelayan di kantin Bonbin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) setelah saya berhenti dari pekerjaan sebelumnya. Di tempat bekerja yang baru ini, saya merasa nyaman dan cocok sehingga saya bekerja dengan giat. Saya bekerja karena termotivasi keadaan keluarga dan kondisi ayah yang tidak bisa membiayai sekolah saya, selain itu ibu tiri saya juga memaksa agar saya bekerja untuk membantu keluarga. Tak hanya memaksa, namun ibu tiri saya selalu meminta 50% dari penghasilan bulanan saya.
Saya merasa paksaan ibu tiri saya semata-mata hanya untuk kepuasannya sendiri. Selain itu, saya seolah diperalat dan dijadikan alat pencari uang oleh ibu tiri saya. Namun, Tuhan maha tahu dan maha mengasihi, saya bertemu kakak saya saat saya kabur dari rumah karena tidak lagi merasa nyaman tinggal bersama ayah dan ibu tiri saya. Pertemuan ini juga membuat saya bertemu Yayasan Rumah Impian Indonesia sehingga saya dapat kembali bermimpi dan mewujudkannya.
Saya pun tinggal di Hope Shelter yang merupakan salah satu Divisi Yayasan Rumah Impian Indonesia hingga saya lulus SMA. Pendampingan dari kakak-kakak relawan mengingatkan saya kembali pada mimpi masa kecil saya dan membuat saya giat belajar di sekolah untuk menggapainya. Kini saya membulatkan tekad untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan melanjutkan mimpi masa kecil saya menjadi perawat.
Terkadang saya teringat saat dulu harus bersusah payah merawat ibu, bersekolah dan mencari uang waktu masih SMP. Seandainya saya menjadi perawat mungkin akan ada banyak ibu di luar sana yang bisa saya bantu dan anak-anaknya tidak perlu bersusah payah bekerja seperti saya dulu. Mereka bisa tetap sekolah dan melanjutkan mimpi mereka tanpa mengkhawatirkan ibu mereka. Orang-orang di daerah pedalaman yang masih kekurangan akses sarana dan prasarana kesehatan pun menyentil rasa iba saya. Jika saya diberi kesempatan saya sangat ingin membantu mereka dan berbagi sedikit tawa dengan mengabdikan kemampuan dan ketrampilan keperawatan saya. Jika saya diberi kesempatan untuk bisa kuliah, pastilah saya akan mengabdikan seluruh kemampuan saya dan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa berbagi kasih dengan menggerakkan kaki dan tangan seperti orang-orang yang menyelamatkan saya dari kelamnya hidup saya dulu.
Tahun 2016 yang lalu, saya melanjutkan pendidikan di bangku kuliah dan mengambil jurusan Kebidanan di salah satu kampus di Yogyakarta. Selain berkuliah, saya juga mengambil bagian sebagai relawan untuk mendampingi adik-adik di Education Center Yayasan Rumah Impian Indonesia.
Saya ingin bercerita sedikit mengenai pengalaman saat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Awal masuk di bangku kuliah saya merasa minder dan takut. Apakah saya bisa mengikuti setiap proses perkuliahan dan apakah saya bisa bergaul dengan teman-teman kuliah? Tetapi lama-kelamaan saya mulai beradaptasi dan bisa mengikuti semua proses perkuliahan, serta saya juga sudah bisa berbaur dengan teman-teman kuliah. Ini pengalaman yang luar biasa.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan saya sudah melewati semester 1, semester 2, dan semester 3 dengan penuh pelajaran yang berharga. Saat ini saya memasuki semester 4, yang artinya saya akan terjun langsung dalam proses penanganan ibu hamil yang akan bersalin. Berdebar-debar rasanya, tapi untuk bisa meraih impian, saya harus bisa menjalaninya dan belajar sebanyak-banyaknya, supaya kelak saya bisa menolong banyak orang untuk melahirkan. Semangat!
Yogyakarta, 20 Februari 2018
Lina