Solidaritas Yang Mentransformasikan

Anak Jalanan
Keberadaan anak jalanan di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980-an, namun sejak terjadinya krisis
multidimensi pada pertengahan 1997, jumlah anak jalanan bertambah dengan sangat cepat. Menurut data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Departemen Sosial RI, jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun menunjukkan
peningkatan signifikan. Pada tahun 2000 berjumlah 59.517 anak, tahun 2002 sebanyak 94.674, dan pada
tahun 2004 sebanyak 98.113 anak, yang tersebar di kota-kota besar.

Definisi anak jalanan sendiri, masih mengutip Pusdatin Kemensos RI, adalah anak yang berusia antara 5 tahun sampai 21 tahun, yang menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun di tempat-tempat umum. Anak jalanan dapat dibagi dalam tiga golongan, yakni:
1.Mereka yang selama 24 jam hidup di jalan, terpisah sama sekali dari keluarganya
2.Mereka yang bekerja di jalan, namun masih mempunyai rumah dan keluarga
3.Mereka yang turun ke jalan (atau rentan turun ke jalan), karena orangtuanya sudah terlebih dahulu turun ke jalan.

Keberadaan anak jalanan yang semakin banyak ini menjadi masalah, terutama di kota-kota besar, seperti Yogyakarta. Keberadaan mereka dirasakan mengganggu kenyamanan dan keamanan berlalulintas, dan seringkali dituduh melakukan tindakan kriminal, seperti mencopet atau menodong. Ditambah lagi adanya kecurigaan bahwa
anak jalanan dikendalikan oleh sindikat tertentu, membuat keberadaan anak jalanan di kota-kota besar menjadi duri yang tidak menyenangkan.

Banyak pihak telah berusaha untuk menangani permasalahan anak jalanan ini. Pemerintah, dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota, dengan berbagai kebijakan dan peraturan-peraturan, telah berusaha untuk menyeselaikan permasalahan ini, atau paling tidak mengurangi akibat-akibat buruknya. Selain itu, organisasi-organisasi non pemerintah pun banyak yang bermunculan untuk mencoba mengatasi permasalahan
anak jalanan. Berbagai model penangangan telah dilakukan, berbagai proyek dan program telah dilaksanakan, mulai dari model Rumah Singgah yang begitu populer, sampai yang terakhir yang cukup menghebohkan adalah Peraturan Daerah Penanganan Gelandangan dan Pengemis yang dikeluarkan oleh banyak pemerintah kabupaten/kota.
Akan tetapi tulisan ini bukan dimaksud untuk menilai proyek-proyek dan program-program penanganan anak jalanan manapun.

Ada juga yang melihat ‘orang luar’ sebagai orang-orang berduit yang datang hanya untuk ‘bagi-bagi rejeki’ tanpa terlalu peduli dengan keadaan mereka yang sebenarnya. Dengan menjalin relasi ini juga, LSM Rumah Impian dapat menemukan hal-hal apa saja yang paling dibutuhkan anak jalanan lewat pengakuan mereka sendiri dan melalui pengamatan langsung pada hidup keseharian mereka. Selain menemukan kebutuhan mereka, melalui relasi yang terjalin juga, bantuan yang kemudian diberikan kepada anak jalanan tidak akan terkesan sekedar ‘bagi-bagi
rejeki’, tetapi menjadi ‘bantuan seorang sahabat’ yang keluar dari empati yang dalam.

Sesuai dengan visi dan misinya, bantuan yang diberikan Rumah Impian kepada anak jalanan juga bukan sekedar bantuan karitatif (memberi makan, pakaian), tetapi lebih merupakan bantuan untuk memberdayakan mereka. Bantuan berupa pelatihan dan pendampingan kewirausahaan, pendampingan belajar, beasiswa pendidikan pencegahan anak turun ke jalan dan pendampingan keluarga, dapat lebih mencapai sasarannya ketika diberikan melalui relasi yang telah terjalin. Memang satu kendala yang dihadapi dengan pendekatan solidaritas ini adalah dibutuhkan kesediaan untuk meluangkan banyak waktu bersama dengan anak jalanan.

Bantuan yang diberikan juga bersifat jangka panjang. Walaupun demikian, sejak memulai program-programnya pada tahun 2008, relasi yang terjalin baik dengan anak jalanan telah menunjukkan banyak hasil yang positif. Kesadaran anak jalanan untuk kembali ke sekolah mulai bangkit, ini terlihat dengan banyaknya anak jalanan yang mengajukan diri untuk belajar di Pusat Kegiatan Belajar Mandiri (PKBM) dengan bantuan dari Rumah Impian, bahkan ada 20 orang anak yang kembali bersekolah formal di Beberapa sekolah dari jenjang SD sampai SMA dengan beasiswa penuh dari Rumah Impian dan saat ini 80 anak di dampingi di kampung marginal untuk mencegah anak turun ke jalan. Kesadaran untuk melanjutkan sekolah ini terus meningkat dari waktu ke waktu, dan ini terjadi bukan dengan paksaan atau iming-iming apapun, tetapi melalui relasi yang terjalin dengan intens dengan relawan-relawan Rumah Impian.

Akhirnya, Rumah Impian percaya bahwa dengan pendekatan solidaritas ini, transformasi bisa terjadi. Mungkin memang membutuhkan waktu yang panjang, tetapi Rumah Impian siap untuk melakukan perjalanan itu.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.