Berbicara tentang kemiskinan adalah berbicara tentang sesuatu yang sangat dekat dan sangat pribadi bagi saya. Berdasarkan apa yang saya pelajari dari berbagai bacaan, kemiskinan adalah keadaan di mana seseorang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal. Di setiap daerah standar kebutuhan dasar bisa berbeda-beda, karena itu indikator kemiskinan di setiap daerah pun bisa berbeda-beda. Di Indonesia sendiri umumnya kebutuhan dasar dalam hal makanan dipahami sebagai kebutuhan untuk makan tiga kali sehari dengan komposisi makanan yang sehat. Sementara dalam hal pendidikan, yang menjadi ukuran mendasar adalah kemampuan menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SLTP (wajib belajar 9 tahun). Sedangkan dalam soal kesehatan dan tempat tinggal, itu adalah kemampuan untuk membiayai perawatan di rumah sakit ketika sakit dan kemampuan untuk memiliki tempat tinggal yang layak dan manusiawi.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan, di antaranya kurangnya kemampuan yang dimiliki untuk bekerja/bersaing di dunia kerja, tidak adanya modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha, serta kesempatan kerja yang terbatas. Faktor-faktor ini masih ditambah lagi dengan faktor sifat/karakter yang tidak mendukung untuk seseorang dapat maju, seperti malas, tidak mau melewati proses, dan rendahnya kemauan untuk maju. Memang ada juga faktor-faktor lain yang sifatnya insidental, seperti tertimpa bencana atau musibah.
Semua hal yang disebut di atas menunjukkan bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang seharusnya dihindari. Akan tetapi, kenyataannya tidak banyak orang yang bisa menghindar dari kemiskinan. Bahkan menurut informasi yang pernah saya baca, jumlah penduduk dunia dengan penghasilan per tahun di bawah USD 935 (Rp 8.415.000 dengan kurs USD 1 = Rp 9.000), mencapai 37% penduduk dunia.
Bagi saya pribadi, seperti yang sudah disinggung juga di atas, kemiskinan adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan saya. Saya pernah hidup selama dua tahun lebih di perempatan Jombor, Sleman, Yogyakarta bersama dengan komunitas anak-anak jalanan. Selama hidup di sana, saya menyaksikan dan mengalami sendiri ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan, pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal. Setiap hari saya menyaksikan dan mengalami bersama teman-teman anak jalanan, kami harus berjuang untuk mendapatkan uang untuk dapat membeli makanan. Untuk bisa makan tiga kali sehari dengan komposisi menu yang sehat adalah suatu kemewahan bagi kami.
Semua anak jalanan yang bersama saya di Jombor juga putus sekolah. Saya dan kebanyakan anak jalanan teman saya, putus sekolah karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Pendapatan orang tua yang tidak memadai membuat kami harus berhenti bersekolah, bahkan mengubur impian untuk masa depan yang lebih baik juga. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dengan bermodalkan botol fanta, paku dan kayu yang dirangkai sebagai alat musik sederhana, dengan diterpa panas terik matahari atau rintik hujan, kami berusaha memenuhi kebutuhan dasar kami. Setiap hari yang menjadi kecemasan kami adalah soal makan, minum, dan pakaian. Banyak teman saya bahkan tidak memiliki pakaian yang layak untuk dipakai. Mereka compang-camping, kotor, dan lusuh.
Esai ini memang harusnya berbicara tentang pendapat saya mengenai kemiskinan dan apa yang saya bisa lakukan untuk mengatasinya, namun saya tidak bisa melupakan saat-saat ketika saya masih bersama teman-teman jalanan di Jombor itu. Kami harus bertarung melawan panas dan hujan, namun tetap saja kami bersemangat untuk mencari uang. Banyak teman saya yang tidak memikirkan tentang kondisi kesehatannya. Karena susah mencari uang untuk makan dengan cukup dalam sehari, banyak teman saya yang menghabiskan uangnya hanya untuk merokok, padahal merokok tanpa makanan yang cukup tentu akan merusak tubuh mereka. Ketika musim hujan datang kami juga sering kebingungan untuk mencari tempat untuk berteduh. Paling-paling kami hanya berteduh di sembarang tempat seperti di depan toko, depan rumah orang atau di bawah jembatan. Meskipun begitu banyak teman saya tetap menikmati hidup mereka.
Kebanyakan mereka juga tidak lagi punya kemauan untuk kembali bersekolah. Mereka beralasan masih banyak sekali kendala yang mereka hadapi. Padahal, jika saya ditanya apa yang bisa dilakukan untuk melepaskan mereka dari kemiskinan, maka jawaban saya yang terutama adalah melalui pendidikan. Saya bisa menjawab begitu karena itulah yang saya alami sendiri. Kehidupan saya di jalanan berakhir ketika sebuah lembaga yang peduli kepada anak-anak jalanan memulai program pendampingannya kepada anak-anak jalanan di Jombor. Lembaga ini menarik hati saya karena yang mereka lakukan sebenarnya tidak banyak.
Mereka hanya datang dua-tiga minggu sekali dan ikut nongkrong dan ngobrol ngalor–ngidul dengan kami. Setelah kami menjadi akrab, mereka berbicara tentang kesempatan kami untuk melepaskan diri dari keadaan kami sebagai anak jalanan yang miskin, dan kesempatan yang mereka bicarakan itu adalah melalui kembali ke sekolah.
Melalui program yang dilakukan lembaga ini, saya akhirnya kembali ke sekolah setelah dua tahun lebih hidup di jalanan. Saya kembali masuk kelas 5 SD dan sekarang saya sudah duduk di kelas 8 di SMP. Setelah kembali ke sekolah saya kembali bisa melanjutkan impian saya untuk meraih cita-cita di masa depan. Pendidikan adalah sarana yang paling realistis bagi saya untuk merubah hidup saya dan melepaskan diri dari kemiskinan yang membelenggu saat saya masih berada di jalanan.
Kalau saya mengingat kehidupan saya di jalanan dulu dan mengingat teman-teman saya yang sebagian masih di jalanan, kadang-kadang membuat saya menangis. Tidak banyak teman saya yang mempunyai niat untuk kembali bersekolah, walaupun kakak-kakak dari Rumah Impian (lembaga yang saya sebut tadi, www.thedreamhouse.org) terus mendampingi dan mendorong. Kebanyakan teman saya itu masih ragu. Masih ada beberapa hal yang mereka takuti juga, seperti misalnya jika mereka memilih untuk kembali bersekolah apakah mereka memiliki waktu yang bebas seperti ketika mereka berada di jalan. Mereka bimbang dan masih ragu untuk melepaskan kehidupan di jalanan, yang sebenarnya adalah kemiskinan yang membelenggu mereka.
Kadang-kadang, ketika liburan saya masih menyempatkan diri mengunjungi teman-teman saya di jalanan. Ketiku itu saya juga mengajak mereka untuk berpikir tentang masa depan mereka, meskipun kadang mereka masih menganggap omongan saya atau cerita yang saya bagikan kepada mereka hanya angin yang lewat begitu saja di telinga. Akan tetapi itulah yang harus saya tunjukan terus menerus tanpa henti kepada mereka. Saya mau suatu saat nanti mereka juga akan sadar dan melakukan sesuatu untuk melepaskan diri dari kemiskinan mereka. Saya akan terus berusaha, karena setidak-tidaknya itulah yang bisa saya lakukan untuk mengatasi kemiskinan yang ada di depan mata saya.
* Mantan anak jalanan, bergabung di Hope Shelter sejak 2009, sekarang sedang Menempuh Perguruan Tinggi Sastra inggris. Tulisan ini dibuat untuk Young Leaders Camp YCS Indonesia 2012.