Merasa Cukup

Oleh Lina Andayanti

Saya yakin kita semua pernah mendengar istilah kalau manusia tidak pernah merasa puas ataupun cukup dalam hidupnya. Mungkin saya pun begitu. Berlomba-lomba mengejar sesuatu yang saya tidak tahu juntrungannya. Tapi bertapa di perempatan Jombor sekarang mengajarkan saya banyak hal. Kehidupan komunitas abakura yang diketuai mas Gendong (dalam pandangan saya) mengajarkan sisi lain dari sebuah kehidupan yang so hectic ataupun so zombie alias so plain seperti yang sedang saya lakoni.

Saya tidak tahu bagaimana masyarakat memandang mereka. Setiap kali ada pengendara motor yang terpaksa berhenti karena lampu merah, pasti sesekali atau beberapa kali melirik dengan sebelah mata ataupun terbelalak (karena melihat saya pastinya, I’m gorgeous huh..) kepada komunitas anak jalanan di jombor, atau kata teman saya, seperti melihat ikan di akuarium.

Saya berpikir: di sini siapa ikannya? Kita (baca: lina dan kelompok anak jalanan jombor) atau mereka (baca: bukan kita pastinya)? Kalau menurut saya..semuanya ikan. Semuanya orang yang celingak celinguk nggak jelas ke akuarium. Mereka menilai kita dan kita pun menilai mereka. Saya pernah ngobrol dengan om Yadi. “Mas coba kamu nggak di jalan…kamu bisa loh naek mobil kayak gitu, pake dasi..cewek manapun pasti nempel.”. Saya sempat juga menggoda Erwin: “kalau kamu tetap sekolah win, cewek yang jadi model iklan rexona yang keteknya putih mulus tanpa bulu itu mungkin bakal kamu gaet.. kalau kamu tetap di jalan..yah..”.

Mereka berdua hanya cengengesan. Saya bilang, kalau masalah mampu, saya yakin kalian mampu, tapi apakah mau, ini yang susah. Mengapa sih mereka betah di jalan, kerasan di jalan, bahkan Tio dengan pede menyebut dirinya gelandangan abadi (oh Tuhan)?

Jawaban mereka simpel: nggak ribet. Mereka hanya hidup untuk dirinya sendiri. Cari makan untuk diri sendiri, cari duit untuk sendiri. Kalau ada lebih, baru berbagi dengan orang lain. Kalau kerja nggak ribet, nggak perlu modal, tampang atau apa pun. Cukup kencrung dan suara serak-serak dan hapal lagu Melayu teranyar…

Tapi sempat juga mereka terhenyak ketika saya tanya: “mau sampe kapan?”. Tidak ada yang bisa menjawab. Bahkan mas Geyong yang sempat ditawarin kerja jadi cleaning service sepur pun kembali ke jalanan. Kehidupan jalanan yang keras, ternyata ngangenin juga.

Ah jadi lupa, kaitannya dengan paragraf pertama jadi terabaikan. Mereka betah di jalan karena nggak ribet, nggak perlu mikir berat-berat. Akan tetapi, menurut saya: kesederhanaan dan kejujuran dari setiap episode kehidupan yang mereka lakoni setiap hari di jalan, itu yang membuat mereka betah dan kerasan. Saya pernah bertanya sama satu anak baru, kalau tidak salah namanya Dini (sekarang tidak pernah kelihatan lagi), “kenapa kok suka di jalan toh dek?” Dia bilang, “baik mbak anak-anaknya. Ramah (rajin menjamah, hehe). Mereka tidak menuntut apa-apa ketika ada yang mencoba masuk ke dalam kelompok mereka.

Ketika saya bersama mereka saya tidak perlu mengenakan topeng-topeng bodoh yang kadang kala saya kenakan ketika bertemu orang yang meminta saya memakai topeng itu. Apa adanya. Saya dan mereka dan kita pun bisa bersama-sama duduk, bercerita kadang tertawa di perempatan.

Menurut saya, mereka sudah belajar mengenal kata cukup. Bersyukur dengan hasil ngamen yang tak menentu setiap harinya. Tidak lupa berbagi rokok, makanan, minuman, bahkan penyakit kulit juga, dengan sukarela dan tanpa beban. Saling menjaga, dan saling menindas juga pastinya (tetap saja ada cerita kelamnya kan..tapi saya tulis kapan-kapan saja tentang itu).

Mereka juga sudah puas dengan kondisi mereka sekarang. Itu yang membuat saya gemas, tapi membuat saya belajar juga. Orang yang dengan segala keterbatasan saja mengenal kata cukup dan puas, sementara saya?

Saya dari dulu selalu berpikir apakah kehadiran anak jalanan di setiap sudut kota besar adalah degradasi masyarakat atau merupakan bentuk protes terhadap banyak orang yang selalu mencari keuntungan terhadap diri sendiri padahal hartanya sudah cukup buat ngasih makan negara Etiopia. Entahlah. Yang pasti, bersama mereka saya selalu diingatkan untuk selalu bersyukur karena merasa lebih dari cukup dengan apa yang saya miliki sekarang. Rasa syukur saya tidak saya salurkan dalam bentuk uang receh 100 atau 200 perak yang diberikan pengendara yang terpaksa berhenti di perempatan. Itu bagian mereka saja. Sementara bagian saya. Hm…bagian saya? Saya pun sedang berkontemplasi mengenai itu… Peace!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.