Oleh Clara Siagian
~ “Once you label me, you negate me” Soren Kierkegaard
Hari ini adalah hari menyenangkan untuk Ratih. Dia dan teman-temanya akan menampilkan pementasan musik yang unik di Taman Pintar. Mereka menyebutnya Musik Kaleng Rombeng. Di halaman belakang sekolahnya, Ratih berlatih bersama teman-temannya dari SDK Mangunan –sekolah yang didirikan oleh Romo Mangunwijaya dan dikenal karena pendekatannya yang berbeda dalam mendidik anak-anak.
Ratih terlihat antusias dan gembira menyanyikan dua lagu Indonesia, Ondel-Ondel dan Cublak Cublak Suweng. Keriangannya bertambah ketika mengetahui bahwa, nantinya mereka akan bertemu dan satu panggung bersama Dik Doank yang mungkin sekali adalah public figure pertama yang dilihatnya secara nyata. Interupsi guru yang meminta mereka bernyanyi dan bergoyang mengikuti irama musik sesekali membuat Ratih dan teman-temannya tersipu malu. Sungguh tidak terbayang bahwa hanya sebulan sebelumnya Ratih adalah anak jalanan di sebuah sudut kota di Yogyakarta.
Ratih tidaklah sendiri. Adalah Adhi dan Kido yang sudah kembali bersekolah sejak setahun yang lalu. Adhi, Kido, dan Ratih berada tingkat yang sama, kelas 5 SD tahun in. Mungkin bukan sesuatu yang luar biasa bagi sebagian besar dari kita yang menganggap kesempatan sekolah dan perjuangan menyelesaikannya adalah yang sangat lumrah. Namun, bagi Adhi dan Kido, setahun di sekolah adalah sepenggal besar cerita keberhasilan.
Kido, contohnya, harus hidup dan berpindah-pindah dari satu jalan ke jalan yang lain sampai di suatu titik ia bertemu kesempatan besar yang mengubah hidup dan masa depannya. Di sisi lain ini berarti kerja keras, sebuah tuntutan yang dijawab baik oleh Kido yang selama berada di jalan praktis tidak mengecap pendidikan.
Ketika ditanya tentang perilaku keseharian Adhi dan Kido selama setahun di sekolah, Bu Rumei, guru kelas 4 mereka, sama sekali tidak merasa terbebani oleh anak-anak itu. Impresi yang mereka berikan terutama di awal persekolahan sangat berbeda dari ekspektasinya seperti kasar dan liar. Justru sebaliknya, mereka terlihat pendiam dan cenderung menghindar. Adhi yang di minggu pertama sekolah pernah menangis, mengakui bahwa dirinya minder dengan teman-teman barunya, terutama karena latar belakang jalanannya. Dia melihat dirinya sendiri secara negatif, serupa dengan stigma-stigma yang dilabelkan orang-orang kepadanya –liar, tak berharga, kotor, tanpa masa depan, dan lainnya. Semakin lama seseorang hidup dengan stigma dilekatkan pada dirinya, semakin dalam pula proses internalisasi stigma tersebut, dan semakin pula ia percaya bahwa ia adalah seperti yang dikatakan orang-orang.
Tidak semua cerita membesarkan hati. Nesa sebagai contoh telah melewati proses keluar masuk sekolah dan konseling berulang-ulang hanya untuk mendapati dirinya kembali ke jalanan –yang menurutnya adalah rumah sejatinya. Kebebasan yang dikecapnya di jalanan itulah alasan mengapa ia selalu kembali ke jalanan. Bukan tidak mungkin, kebebasan yang dia maksud adalah bebas dari stigma yang kini menjadi bagian dari dirinya. “Aku ki bedo. Aku nda cocok di sekolah. Aku mbiyen bebas. Di sekolah banyak aturan, nek neng jalanan cah-cah ra peduli karo orang-orang” ujarnya. Kadang kala stigma malah dijadikan pembenaran dan kebanggaan oleh orang-orang yang mengalaminya.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk proses kembali ke sekolah yang berhasil bagi anak jalanan? Dari pengalamannya, Bu Rumei menyebutkan beberapa poin penting. Pertama adalah kemauan dari dalam diri anak itu sendiri. Meski inisiatif dapat datang dari luar, kembali ke sekolah bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan ke mereka. Anak tersebut harus yakin bahwa kembali ke sekolah adalah tiket untuk masa depan yang lebih baik. Adalah kemauan mereka yang akan mendorong mereka untuk bertahan menjalani proses pendidikan. Kemudian diperlukan kerja sama yang baik antara promotor (sanggar atau donatur) dan sekolah itu sendiri. Sekolah harus mampu memberikan pendekatan personal yang menyeluruh dan memiliki kepekaan terhadap karakteristik individual tiap anak. Sementara itu promotor harus mampu berfungsi penolong anak untuk terbiasa dengan rutinitas, disiplin, dan gaya hidup domestik yang jauh berbeda dengan yang mereka alami di jalanan. Selain itu tentu saja dibutuhkan komunikasi yang baik antar pihak-pihak yang terlibat serta pengawasan yang regular.
Berita baiknya, latar belakang mereka di jalanan tidak serta merta buruk. Banyak anak lain yang tertarik kepada mereka karena kemampuan bermusik yang mereka miliki seperti bermain gitar dan menyanyi –hasil dari mengamen bertahun-tahun. Guru juga memandang mereka memiliki rasa tanggung jawab dan kemandirian yang lebih dibanding teman-teman sekelasnya. Mungkin inilah mengapa ketiganya dipilih untuk tampil di Taman Pintar.
Namun, seperti musik memainkan nada mayor dan minor, sekolah juga menampilkan sisi baik dan buruk manusia. Walaupun sebagian besar temannya di sekolah baik dan ramah, Ratih mengeluhkan beberapa teman yang masih membicarakan dia di belakang dan mengungkit-ungkit pengalamannya di jalanan. “Aku nda ngerti, Mbak. Aku selalu baik ke mereka, tapi mereka terus ngomong ‘Ih, anak jalanan’ di belakangku” keluh Ratih. Mungkin saja ini hanyalah persaingan anak-anak yang akan hilang seiring beranjak dewasa, tetapi bagaimana pun juga bagi Ratih ini adalah sebuah pertanyaan yang mengusik. Mungkin waktu akan menjawabnya, atau mungkin Dik Doank di Taman Pintar menyimpan jawabannya.