Oleh Johanes Herlijanto
Memahami Stigma Secara Sederhana
Ketika saya berangkat ke Surabaya untuk memulai sebuah penitian lapangan di kota itu, beberapa orang mengingatkan saya untuk berhati hati. Alasan mereka adalah karena ada banyak orang Madura di Surabaya, dan orang orang itu berbahaya, karena dapat melakukan kekerasan atau bahkan pembunuhan untuk sebab sebab tertentu. Setelah saya tinggal beberapa lama di kota tersebut, saya pun mendapat informasi lebih banyak mengenai sekelompok orang ini. Mereka digambarkan oleh sebagian orang orang yang saya temui sebagai sekelompok orang yang kasar dan bersikap seenaknya, tanpa mempedulikan aturan aturan yang ada. Mereka juga diasosiasikan dengan profesi profesi tertentu, seperti tukang tambal ban atau pebisnis besi tua. Bahkan menjelang jembatan Surabaya Madura (Suramadu) diresmikan, dalam percakapan percakapan sehari hari, saya sempat menjumpai berbagai gurauan mengenai kemungkinan orang-orang Madura melakukan pencurian besi atau membuka tambal ban di sepanjang sisi jembatan itu. Informasi-informasi ini tentu akan menjadi sumber bagi “pengetahuan” saya mengenai masyarakat Madura. Di kemudian hari, bila saya mendengar kata “Madura” atau bertemu dengan salah seorang dari mereka, bisa jadi informasi informasi tersebutlah yang akan muncul dalam pikiran saya.
Cerita di atas adalah contoh yang sangat jelas dari sebuah stigma dan bagaimana stigma itu “bekerja”. Stigma, -yang oleh beberapa kalangan dipahami sebagai atribut atribut negatif yang dilekatkan pada sekelompok orang tertentu-, memiliki potensi yang kuat untuk berkembang dalam ingatan orang orang yang bersentuhan dengan stigma tersebut. Ini berarti stigma dapat berkembang bukan hanya dalam pikiran orang orang yang berada di luar kelompok yang distigmakan, namun juga diamini oleh anggota anggota kelompok yang kepadanya stigma tersebut dilekatkan. Celakanya, bahkan ketika dalam kehidupan sehari-hari dijumpai fakta-fakta yang berbeda mengenai sekelompok orang yang distigmakan itu, fakta fakta tersebut seringkali tidaklah cukup untuk mengubah stigma itu. Sebagai contoh, meski dalam kehidupan sehari sehari selama di Surabaya saya mendapatkan banyak sekali pengalaman bertemu dengan orang orang Madura yang ramah, ringan tangan dalam membantu saya secara tulus, serta menjalani berbagai profesi yang beragam, alih alih mengubah cara pandang saya mengenai kelompok etnik tersebut, saya dapat saja justru beranggapan bahwa orang orang yang saya temui tersebut adalah “orang orang Madura yang berbeda dari orang orang Madura pada umumnya”.
Kemampuan stigma untuk mengakar kuat pada pikiran seseorang, seperti dicontohkan di atas, membuat keberadaan sebuah stigma menjadi sangat berbahaya. Apalagi stigma tersebut seringkali dijadikan sebagai dasar bagi orang orang untuk bersikap saat berhubungan atau bersentuhan dengan anggota anggota dari kelompok yang distigmakan. Tidak jarang terjadi proses diskriminasi terhadap anggota anggota kelompok tersebut. Itulah sebabnya dalam dunia yang selalu mendambakan keadilan ini, keberadaan stigma yang dilekatkan pada kelompok orang manapun, haruslah dilawan dengan berbagai cara. Tulisan ini, dalam bentuknya yang sangat sederhana dan jauh dari sempurna, diharapkan dapat menjadi salah satu dari sekian banyak usaha yang telah dan akan dilakukan untuk mengingatkan kita semua untuk melawan proses stigmatisasi seperti yang dicontohkan di atas.
Pelanggengan Sebuah Stigma
Dalam contoh kasus singkat yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa “pengetahuan” saya mengenai orang Madura justru terakumulasi sebelum saya bersentuhan dengan orang orang tersebut. Proses akumulasi “pengetahuan” semacam itu bahkan sudah berlangsung sebelum saya menginjakan kaki ke Surabaya. Memang benar, dalam kehidupan saya di Jakarta, saya pernah memiliki teman teman yang beretnis Madura dan berinteraksi dengan mereka. Namun jumlah teman yang demikian tidaklah terlalu banyak. Pemahamahan yang dapat saya peroleh berdasarkan interaksi saya dengan mereka pun tidak terlalu dalam. Sebaliknya saya justru memperoleh informasi yang lebih “lengkap” mengenai masyarakat tersebut dari “tangah kedua”. “Pengetahuan” mengenai orang orang Madura justru saya dapati dari percakapan percakapan sehari hari dengan orang orang bukan Madura, berita berita di media, tayangan tayangan komedi, maupun film-film. Meski tidak seluruhnya, sebagian yang signifikan dari “pengetahuan” tersebut mengkaitkan orang Madura dengan berbagai kharakteristik yang dianggap negatif. Suka atau tidak suka, stigma yang berkaitan dengan orang Madura sebenarnya telah “meng-invasi” pikiran saya jauh sebelum saya sampai di kota di mana orang orang Madura dapat lebih banyak dijumpai.
Sekali lagi, ini adalah sebuah contoh bagaimana sebuah stigma menyebar dan menjadi langgeng. Sebagai diceritakan di atas, proses penyebaran dan pelanggengan sebuah stigma dapat terjadi dalam beberapa proses yang saling berkaitan. Salah satu proses di mana sebuah stigma dapat tersebar adalah melalui percakapan-percakapan sehari hari antara seseorang dengan orang orang lainnya. Bisa jadi sebuah stigma mengenai sekelompok orang muncul dalam sebuah pembicaraan di antara beberapa orang yang saling berteman. Percakapan percakapan semacam ini tentu memiliki potensi yang cukup kuat untuk menyebarkan dan/atau melanggengkan sebuah stigma.
Proses penyebaran lainnya, yang jauh lebih kuat dari proses di atas, adalah melalui apa yang dinamakan sebagai wacana. Stigma mengenai sekelompok orang tertentu berkembang secara lebih sistematis bila ia menjadi tema tema yang muncul dalam wacana publik. Tema tema tersebut bisa saja ditemui dalam sinteron sinteron maupun acara acara komedi di televisi. Ia bisa saja terselip dalam drama drama di radio atau dalam film film singkat yang mengiklankan sebuah produk di televisi. Ia bisa saja dibicarakan dalam pagelaran pagelaran atau pementasan. Dan tentunya, ia bisa saja menjadi tema dalam berita berita di media. Bahkan bukan tidak mungkin sebuah tema yang terkait dengan sebuah stigma juga dijumpai dalam kajian kajian ilmiah, meski komunitas ilmiah dan akademisi biasanya berusaha keras untuk membebaskan diri dari “kungkungan” stigma. Singkatnya, stigma tentang sebuah kelompok orang serta tema tema yang berkaitan dengan stigma itu dapat muncul di mana pun. Dan karena kemunculannya yang berulang ulang, maka potensi untuk melekatkan stigma tersebut dalam pikiran kita pun sangatlah besar.
Melawan Stigma?
Mengingat betapa sistematisnya sebuah stigma terbentuk, tersebar, dan terlanggengkan, usaha untuk melawan proses stigmatisasi terhadap sebuah kelompoknya nampaknya akan menjadi sebuah usaha yang sangat sulit. Namun itu bukan berarti usaha tersebut tidak dapat dilakukan atau tidak akan mungkin membuahkan hasil. Sebaliknya upaya untuk melawan stigma yang terlekat pada sekelompok orang dapat membuahkan hasil, paling tidak mengurangi kekuatan stigma tersebut, bila dilakukan dengan proses yang sangat sistematis pula.
Salah usaha yang patut dilakukan adalah dengan memunculkan wacana alternatif. Usaha ini termasuk upaya untuk menunjukan bahwa “pengetahuan” mengenai sekelompok orang tertentu yang selama ini menjadi stigma dari kelompok tersebut sesungguhnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Bahkan lebih jauh lagi, usaha melawan sebuah stigma bisa juga dilakukan dengan mencoba melakukan studi sosio historis terhadap sebuah stigma. Melalui studi ini, dilakukan penelusuran kembali mengenai hal hal yang berhubungan dengan munculnya sebuah stigma serta kelompok kelompok mana yang memiliki kepentingan di dalamnya. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa stigma yang melekat pada sekelompok orang tertentu justru merupakan hasil dari sebuah “proses politik”, baik masa lampau maupun masa kini, dan bukan sebuah “kebenaran mutlak”.
Selain usaha-usaha di atas, tindakan lain yang juga dapat dilakukan adalah mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang melindungi kelompok kelompok orang tertentu dari proses stigmatisasi. Hal ini bisa dilakukan, misalnya, untuk melakukan “pembelaan” terhadap sekelompok orang yang karena kondisi fisik atau mentalnya, ataupun karena status sosialnya, menjadi korban dari proses stigmatisasi oleh masyarakat. Contoh dari kelompok kelompok orang tersebut adalah penderita HIV, mereka yang memiliki keterbelakangan mental, dan anak anak jalanan.
Selamat Berjuang!