Oleh Berlin Tandirerung
Nama saya Berlin, relawan Rumah Impian (Dreamhouse), yang selama empat bulan terakhir mendampingi anak-anak jalanan di Sagan, Yogyakarta. Kami mendampingi anak jalanan itu belajar membaca, mewarnai, menulis, menggambar, berhitung, menyusun puzzle, menceritakan dongeng, sampai bermain UNO (suatu permainan yang sudah seperti tradisi khas di antara anak jalanan dampingan Rumah Impian sejak dulu, sekaligus ice breaker yang mujarab).
Usia anak-anak yang kami dampingi di Sagan berkisar antara 3–16 tahun. Mereka adalah anak-anak yang manis, lucu serta periang. Si kecil Teguh misalnya. Bocah berlesung pipit ini suka sekali berlari-lari ke sana kemari. Dia gemar membongkar puzzle lalu meninggalkannya begitu saja tanpa menyusunnya kembali. Lain lagi dengan Laras, kakaknya. Dia cerdas tetapi cepat bosan, dan belum bisa konsentrasi lama pada suatu pekerjaan yang dilakukan. Ada juga Ambar dan saudara-saudaranya dengan karakter masing-masing yang unik. Ambar, penurut namun moody. Ia punya beberapa orang adik yang ikut “berkarya” di jalanan. Dadang, yang sangat gemar difoto, Juremi yang periang dan over-confidence, dan Susi yang baru berusia 3 tahun, yang punya suara yang agak cempreng. Selain mereka ada juga Silvi, yang sangat pandai mewarnai, dan adiknya Lela, yang pendiam dan malu-malu. Ada juga Robi, yang gemar bersenda gurau dan Narto yang selalu pendiam. Merekalah anak-anak yang rutin kami temui di Sagan, selain anak-anak lain yang datang dan pergi.
Kebanyakan dari anak-anak ini masih tinggal dengan orang tua mereka. Ada juga yang orangtuanya tinggal jauh di daerah lain.
Sehari-harinya kegiatan mereka adalah mengamen dan mengemis. Uang yang mereka dapatkan tidak pernah ditabung tetapi dihabiskan untuk makan dan bersenang-senang. Ada yang memakai uang itu untuk mabuk (ngelem, minuman keras, obat-obatan). Ada pula yang memakainya untuk bermain online–game. Semua uang mereka biasanya habis begitu saja dalam satu hari. Kebiasaan ini tanpa mereka sadari telah membelenggu mereka, dan menjadi gaya hidup yang sukar untuk dilepaskan. Tidak sedikit cerita sedih yang kami dengar tentang hal ini. Salah satunya adalah Bang Ucok, seorang anak jalanan yang menjadi preman di daerah Sagan. Bang Ucok adalah adik dari ayahnya Laras. Dia meninggal dunia di usia muda karena minuman keras oplosan, yang dibeli dari hasil mengamennya.
Cerita lain adalah banyaknya resiko yang harus dihadapi anak-anak yang hidup di jalanan. Ketika baru mulai mengikuti pendampingan di Sagan, saya menyaksikan separuh muka Laras sebelah kiri lebam dan bengkak. Matanya pun merah pertanda menderita luka dalam. Ternyata ia terbentur di trotoar karena menjadi korban tabrak lari. Dua bulan berikutnya, kejadian yang sama menimpa Narto dan Dadang. Bahkan Dadang harus dirawat inap. Ada juga Ade yang sampai saat ini masih harus dirawat di rumah sakit karena gizi buruk dan penyakit lambung kronis.
Alasan anak-anak ini menjadi anak jalanan ada beraneka ragam, namun satu alasan yang cukup banyak ditemukan adalah seperti yang dituturkan oleh Silvi pada suatu kesempatan. Silvi menjadi pengamen jalanan karena melihat orangtuanya yang juga pengemis, sehingga ia diharuskan untuk ikut terlibat membantu orang tua. Suka tidak suka, mau tidak mau, sebagai anak, dia harus menuruti perintah ayahnya. Dia bercerita ayahnya itu galak, seorang mantan narapidana yang suka memukuli dia dan adiknya.
Bertemu dan mengenal anak-anak yang seperti ini membuat saya semakin bersemangat untuk membaktikan diri sebagai relawan yang mendampingi mereka. Rasanya ingin sekali cepat-cepat membawa mereka keluar dari jalanan. Memang semuanya butuh proses, dan proses itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai relawan, saya juga masih butuh banyak belajar untuk memahami dan mendapatkan kepercayaan mereka. Satu hal yang saya percaya, mereka bukannya tidak bisa. Mereka bukannya bodoh. Hanya mereka belum benar-benar mengerti tentang masa depan yang cemerlang yang bisa mereka raih.
Saat ini sebagai relawan, saya hanya berusaha memberikan apa yang bisa saya berikan. Melihat mereka tertawa, bernyanyi dan bermain dengan gembira, adalah tambahan semangat bagi saya untuk terus berkarya. Bagaimanapun, mereka adalah penerus bangsa ini, generasi untuk masa depan Indonesia, permata berharga yang belum diasah. Terima kasih Rumah Impian, untuk kesempatan yang priceless ini.