Oleh Lidwina Widayati
Mendengar kata jalanan, otak kita pasti dibawa pada konsep ketidakteraturan, jorok, brutal, tak beretika, keras, tak berpendidikan, bahkan tak sedikit orang menilai jalanan identik dengan hidup tanpa harga diri. Seolah-olah tak ada sisi positif yang bisa dilihat dari jalanan, terlebih anak jalanan yang dominan mengemis di pertigaan/perempatan lampu merah. Apakah benar kehidupan jalanan itu negatif, tak tertinggal satu positif pun?
Jika kebanyakan orang melihat anak jalanan merupakan akibat tindak korupsi, kelalaian pemerintah, dampak masalah perekonomian, bahkan musisi Sandy Sondora dalam karyanya menyebutkan anak jalanan sebagai korban metropolitan, mungkin saya melihat dari kacamata yang berbeda.
Mereka hanya korban salah asuh dan salah asih hidup berkeluarga dan kepribadian orang tua. Sejatinya, anak itu terlahir bak kertas putih kosong tak bernoda. Apa yang kita torehkan, apa yang kita ajarkan dan apa yang kita tuliskan akan membentuk karakter mereka. Selanjutnya, karakter itulah yang nantinya akan mereka gunakan dalam menyikapi suatu hal, menghadapi dunia dan bersosialisasi.
Sayangnya hidup itu tak pernah berjalan mulus adanya, ada aral melintang, jalanan curam, bahkan tak jarang kerikil tajam pun mewarnai perjalanan. Pribadi-pribadi yang tak tahan menghadapi kerasnya kehidupan akan dengan mudah menyerah begitu saja, sehingga tak heran jika orang tua yang seharusnya menjadi role model condong lelah dan bersikap kasar dalam menjalani kehidupan dan mendidik. Entah itu lewat metode kekerasan fisik, umpatan, kurang perhatian hingga kelebihan kasih sayang. Tak jarang, perilaku-perilaku orang tua tersebut seringkali membunuh karakter anak. Repotnya lagi, karena orang tua itu terdiri dari ayah dan ibu maka masalah ini menjadi kian kompleks mengingat tiap pribadi punya pola pikir yang berbeda. Bisa dibayangkan bukan betapa susahnya mendidik?
Mendidik bukanlah tugas para pendidik, tapi tugas semua orang terdidik. Mendidik juga bukan hal yang dapat kita lakukan sesuka hati dan semena-mena, tetapi harus sepenuh hati dan tak berleha-leha. Saya yakin, jika anak dididik dengan baik dan benar, mereka akan mampu menghadapi segala perkara kehidupan, mereka akan melesat sendiri bak anak panah karena intuisi akan selalu mengarahkan mereka memilih hal-hal yang positif.
Ketika saya turun ke jalan menjadi relawan, otak dan hati saya menemukan hal positif dalam diri anak jalanan yakni kekeluargaan. Ada rasa peduli ketika mereka makan, teman yang lain belum makan. Ada rasa persaudaraan tatkala mereka mendapatkan rejeki pakaian dan dibagi sesuai kebutuhan. Suatu hal yang menandakan bahwa hati mereka sesungguhnya tidak benar-benar mati, tapi mati suri. Ada begitu banyak mata yang haus kasih sayang, mata yang haus kesempatan, mata yang haus bimbingan dan arahan, mata yang haus wadah untuk berekspresi dan berkarya serta tak sedikit mata yang haus pengakuan banyak orang bahwa mereka manusia sama seperti kita.