Seminar Perlindungan Anak dari Kekerasan

Kekerasan pada anak merupakan isu serius yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Persoalan Keluarga dan pengasuhan anak menjadi tantangan terbesar orangtua. Seiring perkembangan teknologi yang begitu pesat, menjadi tantangan tersendiri dalam pengasuhan anak di keluarga. Sebanyak 171 juta atau 8,9 persen pengguna internet menjadi ancaman tingginya kejahatan cyber di Indonesia.

Yayasan Rumah Impian Indonesia menggelar Seminar Penguatan Keluarga yang bertema “Perlindungan Anak dari Kekerasan Fisik”, Sabtu 18 Mei 2024 di Den Nany Resto, Taman Siswa, Jogjakarta. Seminar ini adalah seri pertama dari rangkaian seminar serupa yang diadakan sampai akhir tahun 2024.

Ambar Tri Anggara Putro dari Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (Samin) hadir sebagai narasumber dalam seminar ini. .Peserta seminar adalah para keluarga-keluarga dampingan Yayasan Rumah Impian Indonesia dari 5 kampung di D.I Yogyakarta, yaitu Jogoyudan, Tukangan, Sidomulyo, Tlukan dan Wonocatur.

Dalam paparannya, Tri Ambar menyampaikan apresiasinya kepada Yayasan Rumah Impian Indonesia yang berkomitmen mengkampanyekan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap ana-anak Indonesia.“Jogja harus berterima kasih kepada Rumah Impian Indonesia sehingga program pemerintah tetap berjalan,” tegasnya.

Yayasan Rumah Impian Indonesia mencatat peran orang tua dan pola asuh sangat penting. Pola asuh orang tua yang otoriter mengabaikan hak pendapat dan keinginan anak. Hal ini dapat mengakibatkan anak tidak terbiasa  membuat keputusan dan punya rasa ketakutan untuk mengungkapkan pendapatnya. “Sayangnya, orang tua yang otoriter tidak mempedulikan pendapat dan keinginan anaknya, ” ungkap Tri  

Dampak paling serius orang tua yang otoriter, anak akan mengalami tekanan sehingga berakibat terhadap perkembangan emosinya. Padahal, anak memiliki hak hidup dan tumbuh kembang. Karakteristik otoriter cenderung kaku, tegas, merasa selalu benar dalam mengemukakan pendapat dan menerapkan hukuman jika tidak sesuai aturan atau kemauan orang tua.

 Maka, menurut Tri, pola asuh orang tua harus menjadi panutan bagi anak-anaknya. Orang tua harus menunjukkan perilaku yang baik dan tidak melakukan kekerasan, baik fisik maupun verbal. Jika orang tua sering melakukan kekerasan, anak akan menganggap bahwa kekerasan adalah hal yang wajar. “Orang tua, sebagai produk masa lalu, memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak,” tegas dia.

Kebalikan dari pola asuh yang otoriter adalah pola asuh permisif. Pola asuh permisif, kata dia, membuat anak akan berperilaku agresif ketika keinginannya tidak terpenuhi. Meski anak yang tumbuh dengan pola asuh permisif karena keinginannya selalu dipenuhi, tetapi dalam jangka yang panjang akan menjadi tidak dispilin. “Anak yang diasuh dengan pola ini cenderung melakukan pelanggaran karena mereka tidak mampu mengendalikan perilakunya dan berdampak buruk untuk dirinya sendiri.

Ada juga pola asuh neglectful . Pola pengasuhan ini membiarkan anak berkembang dengan sendirinya. Orang tua hanya memenuhi kebutuhan makanan, tempat tinggal dan pakaian. Sementara kebutuhan psikologis dan emosional tidak terpenuhi. Orang tua tidak peduli terhadap anaknya, sehingga akibatnya anak ‘diasuh’ oleh gawai, televisi atau video game.

Dalam pola asuh seperti ini, umumnya orang tua tidak memberikan batasan yang tegas terhadap anak, tidak memerhatikan kebutuhan anak, bahkan enggan terlibat dalam kehidupan anak. Hasilnya, tambah Tri, anak menyadari dirinya tidak penting bagi orang tuanya dan cenderung menjadi anak yang individualistik. Anak yang tumbuh dengan pola asuh cuek, cenderung tidak percaya diri, emosi tidak terkontrol, tidak mampu mengontrol diri, sulit menjalin relasi dan komunikasi.

Pola asuh yang disarankan adalah pola asuh demokratis. Pola asuh ini memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan. Pendekatan yang dilakukan orangtua ke anak juga bersifat hangat. Pada pola ini, komunikasi yang terjadi dua arah dan orangtua bersifat mengasuh dan mendukung. “Anak yang diasuh dengan pola ini akn terlihat lebih dewasa, mandiri, ceria, mampu mengendalikan diri, beriorientasi pada prestasi, dan mampu mengatasi stresnya dengan baik.” Tri menjelaskan.

Dengan beberapa pola asuh itu, kata Tri, dapat menemukan benang merah terhadap pola asuh yang berdampak pada kekerasan terhadap anak. Menurutnya  orang tua harus  berperan aktif dalam pencegahan kekerasan fisik dan verbal dengan meningkatkan pengasuhan dalam keluarga.

Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Rumah Impian Indonesia Yosua Lapudooh. Menurutnya, peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam pencegahan kekerasan fisik dan verbal guna  meningkatkan kualitas pengasuhan anak dalam keluarga. “Harapan kami dengan adanya seminar ini orang tua dapat berperan aktif dalam pencegahan kekerasan fisik dan verbal,”pungkas Yosua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.