Solidaritas yang Dimulai dari Sebuah Impian

soldaritas

Oleh Sammy Ladh

“You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one..”

Penggalan lagu lawas John Lennon ini bergema di kepala saya saat menyiapkan tulisan ini. Bermimpi adalah sebuah kegiatan yang menyenangkan. Hidup tanpa impian adalah hidup yang kosong ataupun tidak bermakna. Carl Sandburg mengatakan: “Nothing happens unless first a dream”. Hidup adalah masa depan dan masa depan bermula dengan impian. Setiap individu terus merancang dan berfikir tentang masa depan karena hari esok akan terus dihadapi selama hayat masih dikandung badan. Tanpa impian, masa depan tidak bermakna.

Meskipun setiap individu berbeda, namun setiap individu mempunyai peluang yang serupa yaitu hak bagi membina impian masing-masing. Secara positifnya impian bukan angan-angan kosong, khayalan atau lamunan. Impian adalah sebagian mekanisme pikiran yang dapat dikembangkan menjadi idea, pemikiran, rancangan dan master plan apabila dirancang dan disusun secara sistematik.

Apabila disebut angan-angan, banyak yang berpandangan negatif terhadapnya. Sebaliknya, apabila disebut cita-cita,
orang melihatnya sebagai positif. Persepsi ini ada karena orang melihat angan-angan sebagai satu impian yang tidak kesampaian, impian yang tidak terlaksana ataupun tidak dilaksanakan. Sebaliknya, cita-cita dilihat sebagai impian yang dirancang, dilaksanakan dengan usaha yang konkrit. Apabila disebut wawasan, orang melihatnya sebagai satu master plan ataupun satu idea besar, padahal wawasan juga adalah impian.

Umumnya, setiap orang mempunyai impian. Ada yang meremehkan impiannya, ada juga yang serius menangani impiannya. Ada yang mempunyai impian kecil dan ada pula yang memiliki impian besar. Faktor kecil ataupun besar impian seseorang dipengaruhi oleh tanggapan, kepercayaan, pengaruh lingkungan, kemauan, harga diri dan budaya. Individu yang berhasil adalah mereka yang menghargai impiannya, sementara seorang pecundang tidak mempunyai impian.

Ah, maafkan jika saya terdengar melantur. Saya harus mengaku, saya bukan seorang ahli mimpilogi, atau seorang pakar tentang impian. Saya merasa perlu berbicara tentang impian, karena sejak sepuluh tahun yang lalu, impian telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan saya.

Pada bulan November tahun 2006, dengan dibantu beberapa orang teman dari komunitas Shine, saya memulai sebuah layanan untuk anak-anak jalanan di Yogyakarta. Layanan ini berupa mengontrak sebuah rumah di desa Jetisharjo Yogyakarta dan menjadikannya rumah persinggahan bagi anak-anak jalanan yang biasa mengamen di perempatan Jetis dan perempatan Mirota Kampus. Rumah ini saya beri nama “Dreamhouse”, atau “Rumah Impian”.
Nama “Rumah Impian” atau “Dreamhouse” dipilih karena memang tempat ini dimaksudkan sebagai tempat bermimpi. Tempat bagi saya dan teman-teman untuk mewujudkan impian solidaritas kasih terhadap sesama manusia seperti kepada diri sendiri, dan tempat bagi anak-anak jalanan untuk merajut kembali mimpi-mimpi mereka untuk kehidupan yang lebih baik.

Di masa-masa awal, Rumah Impian tidak berjalan dengan begitu mulus. Impian-impian kami menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Dimulai dari sikap tidak acuh dari anak-anak jalanan, hanya segelintir yang mau diajak untuk berteduh di Dreamhouse, dan lebih sedikit lagi yang sudi mengikuti kelas-kelas keterampilan yang kami adakan.

Selain sikap acuh itu, pandangan skeptis (kalau tidak mau disebut sinis) dari warga sekitar juga menjadi makanan kami setiap hari. Seorang ketua RW yang saya ajak bicara malah dengan ketus mengatakan: “Anak jalanan itu tidak usah dikasihani. Mereka hanya membuat masalah saja. Solusinya menurut saya adalah memulangkan mereka semua ke daerah asal mereka.” (Rupanya bapak ini berasumsi bahwa semua anak jalanan di kota ini berasal dari daerah lain.)

Memang tidak semua warga bersikap seperti itu. Ada juga yang bersimpati dan memberi semangat kepada kami untuk terus bermimpi. “Senang melihat orang-orang muda seperti kalian, mau berkarya seperti ini”, kata seorang warga yang suaminya berdinas di Satuan Polisi Pamong Praja.

Memang, kami terus melangkah dengan impian kami, dan lama kelamaan semakin banyak anak jalanan yang bergabung di Dreamhouse. Program-program pun coba dikembangkan. Ada kelas calistung (baca-tulis-berhitung) untuk membantu mereka yang belum melek huruf, kelas keterampilan membuat pigura untuk mereka yang ingin punya modal untuk mandiri, dan kelas musik untuk mengasah kemampuan bermusik mereka yang ingin menjadi “pengamen profesional”. Anak-anak jalanan terlihat bersemangat mengikuti kelas-kelas ini, dan membuat saya dan teman-teman relawan pun semakin mantap melangkah.

Dreamhouse dijalankan dengan program-program seperti ini sampai akhir tahun 2007. Akan tetapi, satu hal yang mengusik saya adalah bahwa penghuni Dreamhouse tetap mengamen dan mencari nafkah di jalanan. Mereka adalah anak-anak berusia mulai dari 9 tahun sampai 18 tahun. Ada yang datang dari kota lain, namun tidak sedikit juga yang asli warga Jogja, yang orangtuanya sudah tiada atau terlalu miskin untuk menghidupi mereka. Bagaimana mereka bisa mewujudkan impian mereka, jika mereka tetap di jalanan? Batin saya terus berteriak. Anak-anak ini, terutama yang masih berusia sekolah dasar, harus dikeluarkan dari lingkungan jalanan ini. Memberikan tempat berteduh di malam hari, dan kelas-kelas kursus di siang hari, masih belum cukup untuk melindungi mereka dari pengaruh negatif kehidupan di jalanan.

Pergumulan batin ini kemudian membawa saya kepada keputusan untuk menyewa sebuah rumah lagi. Namun rumah ini letaknya harus jauh dari lingkungan jalanan. Bukan hanya itu, penghuni rumah ini dikhususkan hanya bagi anak-anak yang telah mantap memutuskan untuk meninggalkan jalanan. Mereka yang tinggal di rumah ini disekolahkan, dibiayai kebutuhan sehari-harinya, termasuk uang saku harian. Mereka akan ditemani oleh satu atau dua orang pengasuh yang tinggal bersama mereka. Mereka yang tinggal di rumah ini, tidak bisa disebut lagi anak jalanan. Ketika ide ini saya bawa di dalam diskusi dengan teman-teman relawan lain, respon mereka senada. Mereka setuju itu ide yang bagus, tetapi dari mana uangnya? Saya hanya menjawab singkat, bukankah ini Dreamhouse, semuanya dimulai dengan impian.

Syukurlah, teman-teman sepakat dengan saya. Ide itu kemudian berwujud sebuah rumah di Cupuwatu Kalasan yang mulai disewa pada bulan Juni 2008. Seorang kenalan rela menyewakan rumah barunya dengan harga yang “hampir gratis”, dan seorang teman yang masih lajang dengan sukarela menempatinya bersama dengan tiga orang anak Dreamhouse yang telah mantap untuk kembali ke sekolah. Rumah ini kemudian kami beri nama “Hope Shelter”, rumah pengharapan, karena impian kami bukan lagi angan-angan tetapi sudah mulai berwujud.

Ternyata Hope Shelter di Kalasan ini menjadi tonggak baru perkembangan Dreamhouse. Tiga orang anak yang kembali ke sekolah itu, menikmati kehidupan barunya sebagai “anak sekolahan” dan bukan lagi anak jalanan. Tahun 2016 ini Hope Shelter mewisuda seorang anak dampingannya, yang menyelesaikan studi di SMA, dan penghuni Hope Shelter bukan lagi tiga, tetapi enam belas orang anak. Semuanya “anak sekolahan” sekarang, yang menikmati hidup dengan penuh pengharapan bahwa impian mereka akan terwujud. Rumahnya juga bukan hanya satu, tetapi dua, untuk memisahkan penghuni laki-laki dan perempuan. Seorang manajer dibantu asisten-asisten yang setia dan pekerja keras, mendampingi keseharian anak-anak di sana.

Dreamhouse sekarang telah berwujud sebuah Yayasan Sosial dengan akreditasi kementerian sosial RI dan izin operasional dari cakupan wilayah seluruh D.I Yogyakarta, . Program-programnya telah mencakup juga program preventif, melalui divisi Education Center, yang membuka taman-taman baca di seantero Jogja, dan program kampanye, melalui divisi Dream Campaign, yang berkampanye di media sosial dan lewat event-event yang diadakan untuk membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat. Jalaran Seka Impen. Mulanya hanya impian, tetapi hidup saya tidak pernah sama lagi karena impian itu. Jangan takut bermimpi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.