Melihat Untuk Memahami

Oleh Timoteus A. Kusno

Stigma yang beredar dan terlanjur mengakar tentang anak-anak jalanan cenderung memosisikan kelompok ini sebagai objek semata. Konstruksi pencitraan macam ini, yang secara sepihak dibangun, telah ikut berperan untuk menciptakan keterasingan dalam hubungan dengan kelompok masyarakat yang lain. Media, terutama TV, terlalu sering memberitakan kesengsaraan dan kehebohan kelompok anak jalanan untuk segera dikasihani. Akibatnya kemudian, muncul ilusi seolah anak-anak jalanan tak memiliki ruang gerak lagi untuk memperjuangkan identitas mereka sendiri.

Persepsi masyarakat atas mereka akhirnya berhenti sebatas gelandangan, peminta-minta, perusak pemandangan, dan citraan lain yang kontraproduktif. Tanpa kita sadari, akhirnya ini menjadi suatu kekerasan lain yang kita lakukan. Sesuatu kesalahpahaman yang terus menerus direproduksi.

Situasi yang demikian akhirnya berdampak lebih jauh, pada rendahnya posisi tawar anak-anak jalanan dalam masyarakat. Anak-anak jalanan cuma dijadikan objek belas kasihan dan dilihat sebagai dampak buruk suatu kemajuan jaman, sebagai tumbal pembangunan—tanpa ada upaya riil untuk memperlakukan anak jalanan dan memanusiakan mereka dalam kesetaraan. Mereka akhirnya tidak mendapatkan ruang dan perlakuan manusiawi selayaknya warga negara pada umumnya. Upaya-upaya dan kebijakan yang diperuntukan untuk mereka pun akhirnya tidak bersifat membela hak-hak mereka, tetapi justru makin membuat posisi mereka makin tersingkir, ruang-ruang mereka makin sempit. Kurangnya pemahaman atas mereka akhirnya berimbas juga pada penuntasan problem atas anak-anak jalanan yang terus berlarut dan tidak pernah benar-benar sampai ke akarnya.

Kecilnya upaya—atau karena memang kurangnya ruang—untuk memahami anak-anak jalanan dan segenap kompleksitas dan kehidupan mereka, telah memangkas sejumlah kesempatan masyarakat untuk memiliki gambaran yang lebih optimis dan berpengharapan terhadap mereka.

Untuk bisa memahami kehidupan dan keberadaannya, perlu bagi kita untuk mengamati tanpa menilai terlebih dahulu terhadap anak-anak jalanan ini. Dan salah satu cara yang bisa diusahakan adalah dengan melihat kehidupan anak-anak jalanan ini melalui cara pandang mereka. Lewat pameran fotografi “Jalaran Seka Impen” yang diselenggarakan oleh LSM Rumah Impian inilah akhirnya ditawarkan sebuah kesempatan kepada publik untuk bisa memahami dan menyelami lebih lagi tentang kehidupan anak-anak jalanan dengan cara pandang yang lebih segar dan otentik.

Melalui mata anak-anak jalanan Jombor, yang menjadi fotografer dalam pameran ini, kita diajak untuk memahami dan menilik kehidupan anak-anak jalanan lain pada umumnya. Melihat sisi kehidupan anak jalanan yang sering berpapasan dengan kita di perempatan jalan, di sudut-sudut terlupakan di kota ini. Melihat bagaimana mereka menceritakan kesehariannya mulai dari kebahagiaan, ketakutan, keluarga, cita-cita, persahabatan, bahkan cinta. Lebih tepatnya, berbagi kisah tanpa pretensi. Bukankah dialog macam ini bisa menjadi sebuah momen yang indah dan hangat?

Menyaksikan rangkaian foto dalam pameran ini seperti mengintip buku harian anak-anak jalanan jombor. Di sini justru bisa ditemukan sisi-sisi lain yang justru sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kita semua. Akhirnya banyak juga bisa kita temukan ungkapan-ungkapan dan perasaan yang sama dan sering juga kita alami. Ternyata memang akhirnya kita semua manusia sama saja!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.