Nina dan pengalamannya

Awal bulan di kegiatan minggu pertama, ada anak baru yang mengikuti kegiatan di Rumah Impian. Dia bernama Nina yang kini duduk di kelas 7 di salah satu SMP Negeri Yogyakarta. Dia sengaja datang untuk bercerita mengenai permasalahannya di sekolah dengan temannya. Cukup saya apresiasi untuk dia berani menceritakan hal ini dengan saya pribadi. Saat itu saya memilih tidak mengurusi hal lain atau mendampingi anak lain, Nina dapat bercerita dengan nyaman tanpa ada yang harus di tutupi ataupun ditakuti. Karena sebelumnya tantenya sudah menceritakan hal ini dengan saya dan meminta untuk diberikan nasehat agar Nina tidak ingin berhenti sekolah.

Nina seorang siswa yang memeluk agama islam tetapi ia memilih untuk tidak berjilbab karena dia berpikir bahwa ia akan mengenakannya setelah merasa siap secara batin dan pikiran. Dia tidak ingin menggunakan jilbab tapi masih lepas – pakai dan berperilaku tidak baik. Nina berpikir bahwa ia masih belajar untuk memahami agama, sehingga dia tidak dapat di paksa untuk mengenakan jilbab meskipun beragama islam. Dia juga berkata meskipun tidak menggunakan jilbab, ia masih menjalankan kewajiban sebagai pemeluk agama islam yaitu shalat, membaca al-qur’an, puasa dsb. Dia juga tidak ingin bermusuhan dengan siapapun. Dia ingin berteman dengan siapapun tanpa memandang agama orang lain. Ya, begitulah Nina yang terlahir dari keluarga Islam dan diberikan kebebasan oleh keluarganya untuk mengenakan jilbab atau tidak itu hak dia.

Perkenalan mengenai Nina memang saya mulai dengan dia dan agamanya karena ini berkaitan dengan apa yang sedang menjadi masalah antara dia dan teman-temannya. Dia memilih sekolah negeri atau umum dengan pilihan bahwa tidak ada paksaan bagi siswa beragama islam untuk mengenakan jilbab. Namun sayangnya, ia mendapatkan gunjingan dari teman sekelasnya atau kelompok terdekatnya. Dan kini mengakibatkan dia tidak merasa nyaman berada di sekolah, bahkan ada beberapa guru juga yang mengucilkan dia secara tidak langsung.

Awal Nina masuk SMP ia memiliki kelompok kecil berjumlah 7 orang. Semua temannya berjenis kelamin perempuan dan beragama Islam. Mereka menggunakan jilbab dan Nina menjadi satu-satunya anak yang tidak menggunakan jilbab. Nina tidak pernah mempermasalahkannya atau merasa minder. Namun, hari bertambah hari teman – teman terdekatnya mulai mengomentari dia seperti “Neth, kamu itu islam kok ga pakai jilbab”, “Neth, kamu itu harus pakai jilbab jangan umbar aurat”. Dia selalu menjawab “aku ga mau pakai jilbab tapi di luar masih sering lepas, nanti kalau aku udah siap aku akan menggunakan jilbab”. Teman – temannya tidak hanya sampai di situ saja, ketika Nina tetap kukuh untuk tidak menggunakan jilbab, ia mulai di jauhi bahkan di urusin semua kehidupan pribadinya.

Jumlah siswa di dalam kelasnya yang ganjil membuatnya sekarang duduk di bangku sendiri tanpa teman sebangku. Dulu ia punya teman sebangku tetapi semenjak kejadian hal di atas temannya sebangku yang tidak masuk dalam kelompok terdekatnya tadi di suruh untuk pindah dengan teman lainnya. Mulai saat itu dia sangat resah, Nina berpikir sendiri apakah temannya menjauh karena dia tidak berjilbab?. Dia sendiri bingung untuk menjawabnya. Dalam kelas ia merasa sangat tidak nyaman sekali. Bahkan ia kini selalu sendiri kemanapun ia pergi, seperti olahraga, ke kantin, atau sekedar mengobrol ia tak ada teman.

Suatu hari ia sedang duduk di depan kelas sendiri, ia di tegur oleh seorang kakak kelas laki-laki yang menjadi anggota OSIS juga. Ternyata Nina menjadi pengamatannya karena ia sering sendirian. Akhirnya Nina menceritakan hal itu kepada kakak kelasnya dan memberikan nasehat secara keseluruhan di dalam kelas Nina. Sialnya, itu membuat Nina semakin di benci oleh teman-temannya tadi. Kata-kata tidak enak pun semakin sering dia terima seperti “Nina, kamu sukannya ngadu ya”, “makanya berjilbab dong”, “kamu itu diingetin harusnya seneng”. Hal ini diperparah lagi dengan salah satu gurunya yang juga pernah menegur dia di depan umum kenapa dia ga berjilbab seperti temannya.

Nina mulai lelah dengan hal-hal yang terjadi di sekolah yang seharusnya menjadi tempat nyaman untuk belajar apapun itu. Bahkan ia pernah mengunggah foto keluarganya di Instagram dan itupun menjadi masalah untuk temannya. Temannya langsung berkomentar di Instagram “Neth ternyata di keluarga mu yang pakai jilbab hanya kakak mu ya”. Tidak berhenti di sosial media saja, esok pun berlanjut di dunia kenyataan. Nina mulai kesal, kenapa tidak cukup di sekolah saja, kenapa sampai keluarganya pun ikut di urusi. Akhirnya ia melawan dirinya sendiri, dengan kata lain “memaksa” untuk mengenakan jilbab di sekolah. Satu hari, dua hari akhirnya temannya tidak ada komentar apapun. Dia merasa lega. Namun tak lama kemudian ada salah satu temannya melihat Nina sedang bermain di luar tidak menggunakan jilbab. Itu menjadi permasalahan baru lagi, Nina akhirnya bingung. Ia mencoba bercerita dengan keluarganya tetapi ia juga tidak mendapatkan jawaban yang menyelesaikan.

Nina bahkan ingin berhenti sekolah, tetapi di larang oleh keluarganya. Akhirnya tantenya menyuruh dia datang mengikuti kegiatan di rumah impian, agar ia tidak merasa bahwa ia tidak punya teman. Jujur saya sendiri pada saat itu saya menahan kebingungan bagaimana agar masukan saya bisa dimengerti. Mengingat saya sendiri pernah mengalaminya dan di saat Nina bercerita saya harus menahan luapan kebencian ingatan saya waktu kecil. Sebagai relawan saya harus mampu bertindak lebih bijak agar anak berpikir dan berperilaku lebih baik.

Dari cerita Nina bahwa toleransi, sopan santun, saling menghargai perlu di ajarkan sejak anak-anak masih kecil. Ini bukan masalah sepele, tetapi akan berdampak besar pada negara ini. Jika sejak kecil anak-anak sudah pandai mengeneralisasi seperti ini, akan menjadi apa negara ini. Indonesia negara Bhinekka Tunggal Ika bukan milik agama, suku, ras atau budaya tertentu. Semua milik Indonesia yang di dalamnya beraneka ragam aneka budaya, ras, suku, agama yang harus kita pelajari untuk kita jaga. Jika memang harus memilih dalam aneka ragam tersebut pilihlah tanpa harus merendahkan apa yang di pilih orang lain.

Sudah saatnya orang tua memperkenalkan berbagai agama, budaya, suku, ras sejak anak masih kecil dan tidak menjadi beban sekolah saja.

Relawan EC Tukangan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.