oleh Lidwina Widayati
Tubuh yang tak sempurna bukan halangan untuk memperoleh pencapaian dan prestasi bagi sosok Qian Hongyan. Gadis kecil asal Cina ini berhasil membuktikan kepada dunia bahwa menghadapi kenyataan dan keterbatasan—harus kehilangan kedua kaki bahkan pinggulnya karena kecelakaan—tak lekas mematahkan semangat hidupnya. Berawal dari kekurangan inilah, Qian Hongyan bertekad melatih potensi diri dan memberikan sumbangsih kepada negara melalui cabang olahraga renang. Lewat latihan dan kerja keras, Qian Hongyan berhasil menjadi perwakilan Cina mengikuti kejuaraan Paralimpik di London 2012 lalu. Bisa kita bayangkan betapa besar perjuangannya mematahkan kekurangan diri yang tak memiliki kaki, tapi masih bisa berenang layaknya orang normal, bahkan menjadi atlet terbaik mewakili negaranya? Bukankah itu sebuah prestasi yang membanggakan?
Keterbatasan juga didobrak oleh Sinta Ridwan yang seorang penderita lupus. Penyakit yang hingga kini belum diketahui obatnya ini tidak menjadikan Sinta patah arang dalam menjalani kehidupan, bahkan ia mampu menyelesaikan S2 Filologi di Universitas Padjajaran (hal yang bagi banyak orang mustahil untuk diwujudnyatakan mengingat penderita lupus mengalami penurunan otak, fungsi organ dan fisik yang melemah dari waktu ke waktu). Mojang Bandung yang punya hobi membuat puisi ini mengisi waktu luangnya dengan berbagi ilmu kepada murid-muridnya yang tak hanya terdiri dari pelajar dan mahasiswa, tetapi juga masyarakat umum. Di Gedung Indonesia Menggugat; Jl. Perintis kemerdekaan-Bandung, Sinta mengajarkan aksara kuno sebagai wujud kepeduliannya menjaga dan melestarikan warisan masa lalu. Gadis yang bercita-cita ingin mendirikan museum digital ini juga membagi kisah hidup dan perjuangannya melawan lupus di dunia literasi dalam bentuk autobiografi berjudul “Berteman Dengan Kematian”; sebuah pembuktian kepada dunia bahwa penyakit bukan akhir, tapi awal dari segalanya.
Di kehidupan jalanan, figur grup pemusik unik “Klantink” (pemenang Indonesia Mencari Bakat asal Surabaya) juga tak kalah hebat mampu menembus keterbatasan. Identitas diri sebagai pemusik jalanan tak menciutkan niat mereka untuk mencoba dan mengasah potensi di ajang pencarian bakat Indonesia. Walhasil, kesuksesan pun di genggam tangan. Musisi seperti Gombloh (pencipta lagu Gebyar-Gebyar), Aris Idol, serta Iwan Fals (musisi besar Indonesia) juga mengawali karier dari jalan, meretas keterbatasan, tak menyerah pada keadaan, hingga sukses pun bukan lagi sebuah angan.
Tokoh-tokoh di atas hanya segelintir dari begitu banyak orang yang juga berjuang dalam menghadapi kehidupan. Masalah, keterbatasan, ketidaksempurnaan, penyakit, kekurangan bukan alasan bagi mereka untuk menyerah pada kehidupan. Beberapa orang bahkan memandang keterbatasan dan rintangan bukan sebagai lawan melainkan teman serta guru yang mengajarkan mereka nilai-nilai kehidupan yang tak dapat ditemukan ketika duduk di bangku sekolah ataupun buku-buku pelajaran. Mereka tak lantas meratapi nasib dan menerima begitu saja keadaan, tapi berpikir dan berusaha bagaimana caranya agar keluar dari kesulitan dan keterbatasan hingga akhirnya mengatakan pada dunia bahwa aku (juga) bisa.